Selasa, 27 Januari 2015

Cerpen Badminton Motivasi

  No comments    

Kisahku dengannya

Hari yang cerah berganti begitu cepat silih berganti, hari-hari kulewati indahnya hidup di dunia ini, meskipun dunia ini terasa sempit jika kita bayangkan. Aku adalah Dirham, seorang laki-laki yang hidup di daerah pinggiran desa terletak di jajaran gunung daerah yang bernama daerah yang bernama Hepta. Aku hidup di daerah ini bersama kedua orangtuaku yang mengasuh dan membesarkanku semenjak aku masih balita. Pekerjanku di sini adalah berkebun di daratan tinggi dan bertani sesaat aku dating ke daerah yang rendah di bawah gunung dekat rumahku. Kehidupanku disini aku rasa amat mudah banyak sekali buah-buahan dan sayuran tersedia cuma-cuma disini. Semua itu disertai dengankondisi yang terpencil sehingga belum banyak yang menjamah daerah ini bersama kedua orangtuaku yang mengasuh dan membesarkanku semenjak aku masih sangat belia. Tatkala  waktu cerah atau dalam keadaan musim kering, setelah senja menapakkan kaki di peraduannya yang merah kejora, aku selalu pergi mencari keramaian entah itu ke desa tetangga yang terdapat berkilo-kilo meter dari tempat ini, ataupun di Kota Hepta. Dan  tak lupa kuajak adikku yang kecil. Dia sangat beruntung dibandingkan aku, dia setidaknya sudah menilik rasa bangku sekolahan ataupun memakai seragam.
            Keinginanku begitu besar aku sangat ingin sekali menjadi seorang atlet bulutangkis yang membawa nama Indonesia mengharumkannya di kancah Internasional. Akan tetapi sayang bagaimana aku bisa  menjadi atlet bulutangkis sedangkan belum pernah memainkan permainnya memegang raketpun aku tak pernah. Acap kali aku termangu dalam diam dan tiupan angin dikala malam hari tiba. Akupun berpikir bahwa sia-sia buat apa memikitrkan itu.
            “Nak, kenapa kamu masuk udaranya sedang dingin,” ucap seseorang sambil menepuk pundakku
Akupun segera membalikkan badan dan kulihat seorang perempuan yang merupakan ibuku tercinta.
“Sebentar Bu, cuaca hari ini cerah aku ingin melihat bulan purnama itu.”
“Ayolah Nak, sebenarnya ada apasih akhir-akhir ini kulihat begitu murungnya mukamu, setiap hari kau tekukkan senyummu,” balas ibu.
“Sebenarnya gini Bu, aku pingin banget jadi atlet Bu, atlet bulutangkis tepatnya, akan tetapi aku belum pernah memainkan permainan itu, bahkan memegang raketpun belum aku pernah. Akan tetapi suatu saat nanti, aku pingin banget jadi atlet bulutangkis yang bawa bangga nama Indonesia,” tuturku pada ibu.
“Kamu mau jadi atlet?. Ibu tidak mengizinkan. Lihatlah atlet-atlet Indonesia sudah ngumbruk akeh, kau bisa lihatkan dulu sewaktu muda mereka menghasilkan medali emas untuk Indonesia, setelah mereka tua mereka dibiarkan saja tak mendapat dana sepeserpun dari pemerintah, apa kamu tidak menyesal nantinya? Pokoknya ibu tidak mengizinkan,” jelas ibu dengan nada tinggi.
Semenjak kejadian itu aku merasa sangat berputus asa. Keluarga terdekatkupun tidak mendukungku, bagaimana akan aku lakukan. Keadaan ini mulai membuatku semakin tertekan, ingin rasanya kutinggalkan tempat ini untuk segera, akan tetapi merekalah yang membesarkanku dari kecil, karena pusing terus-menerus memikirkan hal itu, suatu hari dihari minggu aku putuskan untuk ke kota mencari hiburan. Perjalananku amat menyulitkan pertama aku harus turun dari tempat yang kutinggali di puncak gunung. Dan ketika aku telah sampai di desa sebelah, aku naik angkot. Perjalanan dari rumah pun aku lakukan pada sore hari sekitar jam 15.00 dengan membawa peralatan seperti senter dll, yang aku butuhkan aku pun berangkat dengan sendiri. Angkot yang kutumpangipun bukanlah angkot menuju kota, angkot ini hanya sampai ke jalan raya yang biasa kami sebut Fetra. Kemudian aku harus naik lagi bis, dan akhirnya sampailah ke kota tempat tujuanku.
Tempat yang kutuju begitu ramai dengan kumpulan pedagang yang berjejeran dari spot yang agak rame sampai yang paling rame. Seketika aku melihat seorang pedagang yang sedang berjualan raket dan berbagai perangkatnya.
“Mas, mau beli raket?,” sapa pedagang tersebut.
“Enggak mas mau bermain saja saya belum bisa,” jawabku murung.
“Pingin belajar bulutangkis mas?,” tanya pria pedagang itu.
“Tentu? Akan tetapi saya belum punya banyak uang untuk bayar kursusnya.”
“Janganlah khawatir, itu masalah gampang,” tuturnya dengan yakin
“Terus di mana tempatnya? Apakah di kota?.”
“Tentu,” jawabnya.
Setelah kita berbincang-bincang dia mengambil secarik kertas dengan tulis tangan berwarna hitam. Kertas tersebut berisi alamat Jalan Ampineura tepatnya, dia menjelaskan detail alamat tersebut. Diapun juga menjelaskan jadwal latihan tiga kali seminggu. Seketika kukeluarkan uang Rp. 150.000 untuk membeli raket bermerek Yonex untuk latihan esok hari. Akan tetapi aku tak berani membawa pulang raket tersebut. Karena aku sangat paham bahwa ibuku sangat tidak setuju kalau aku menjadi atlet.
***
Keesokan harinya aku bangun tidur dengan semangat menanti-nanti jam 14.00. Enggan kuceritakan pada kedua orangtuaku, akupun bingung mencari alasan untuk pergi latian perdana bukutangkisku. Aku berpikir berdetik bahkan berjam-jam dan sampai akhirnya aku menemukan alasan yang tepat yaitu pergi untuk merasakan kehidupan yang baru. Untunglah mereka tidak bertanya lebar tentang keputusanku ini. Aku sangat menyesaal harus pergi dengan alasan palsu yang sengaja kubuat semi bermain bulutangkis. Maaf ayah ibu.
“He, kau sudah lama kutunggu,” kata seseorang menepukku dari belakang
“Aku harus mencari alasan untuk pergi kesini,” jawabku sekenanya
            Setelah aku melihat ke dalam gor ini aku melihat semua orang memakai sepatu unik berwarna ataupun cuma garis putih yang tak bermotif. Langsung aku susul temanku ini yang terlibat bincang-bincang dengan teman lain di samping gor.
“Bagaimana kawan saya juga tidak punya sepatu,” tegurku pelan.
“Tenang, semua terkendali,” jawabnya santai.
Semenjak berjumpa pertama kali, kami belum menyempatkan untuk saling berkenalan. Namanya Taufik berumur 17 tahun.  Setelah semuanya sudah siap kamipun bermain bersama di GOR besar ini.
                                                                        ***
Berhari-hari aku bermain bulutangkis bersama Taufik, tak sedikitpun Ibu curiga denganku. Aku sempat merasa bersalah ataupun senang akan keadaan ini. Tapi pada saat itu keadaan sungguh sangat berbeda. Tiba-tiba Ibu bersama adikku muncul di belakangku di dalam GOR itu, tempat kami bermain bulutangkis bersama. Ibu tampak seperti sedih, atau justru sangat marahnya kepadaku. Akupun mengajak ibu keluar untuk menjelaskan segalanya.
“Ibu, maafkan aku, inilah harapanku ibu. Dari kecil aku sangat ingin menjadi seorang atlit bulutangkis,” jelasku.
Sekian lama ibu hanya diam memperhatikanku tanpa ada sepatah kata keluar darinya. Dan pada saat itu aku sangat terpukul. Jelas ibu sangat kecewa dari raut mukanya.
“Nak, jadi ini jalan pilihanmu,” tanya ibu.
“Iya bu.”
“Jangan pulang lagi ibu sudah tidak ingin kamu pulan lagi,” tegas ibu.
Baru kali ini aku melihat ibu sangat marah padaku aku sungguh merasa bersalah. Adikku juga sudah membujuk ibu. Aku juga sempat merenge, tapi ibu juga tidak menggubrisku. Linangan air mata juga tidak mempengaruhinya. Dan akhirnya ibu dan adikku pergi meninggalkanku dalam kesenyapan, kegelisahan, dan penyesalan pada kala itu. Ingin rasanya ku buang raketku sejauh-jauhnya. Tiba-tiba Taufik datang, menyemangatiku, mengajakku untuk bangkit maju meggapai harapan.
                                                           
                                                                        ***
Setiap hari aku terlunta-lunta bermalam di Gor ini. Berminggu-minggu hinga berbulan-bulan kurasakan akan kerinduan mendalam terhadap semua keluargaku. Disamping itu waktu yang sangat lama tersebut kumanfaatkan untuk berlatih dan berlatih. Sampai akhirnya Taufik temanku, menuturkan bahwa besok minggu terdapat seleksi event bulutangkis dalam negeri bernama Djarum Indonesia Open. Sebuah perlombaan bulutangkis amat terkenal dalam pelosok. Aku diajak Taufik untuk ikut dalam perlombaan tersebut. Tanpa berpikir panjang kuiyakan ajakan tersebut.
Pada seleksi pertama aku dan Taufik tidak mengalami kesulitan berarti, kami bermain dalam regu men doubles, melawan pasangan gado-gado dari Thailand dan Singapura dengan straight game. Hari demi hari kami lolos, lolos dan lolos, kami mencatat rekor menakjubkan, kami di semifinal mengalahkan duo Z dari China Zhang Nan, Zhan Weng peringkat dua dunia dengan skor telak 21-8, 21-10. Dan kami akan bertemu dengan peringkat 1 dunia besok di Istora Senayan tempat diadakannya perlombaan ini Xu Chen dan Chen Long.
                                                                        ***
Hari ini langkah kakiku begitu berat untukku tapakkan ke bumi pertiwi, aku sungguh merasa heran, apa yang telah terjadi padaku, beragam kejutan manis bak mengalir seperti sungai ke hilir. Akan tetapi keherananku tersendat dengan lawan berat menanti hari ini, kurasakan denyut jantung mengalir keseluruh tubuh begitu cepat, kupandangi langit yang biru laut membentang luas di atas kepalaku. Hari ini adalah final Djarum Indonesia Open dimana aku dan Taufik melawan saingan berat dari China, Negara besar dengan segudang medali olimpiade emas. Aku dan kawanku, Taufik.
Berjam-jam kulalui, aku hanya menyempatkan untuk stretching, di lapangan luas bawah balkon belakang gor tempat diadakan lomba. Setelah beberapa menit berlalu pertandinganpun dimulai. Berdoa adalah hal yang paling mumpuni untuk mengatasi kegugupan diri.
Dan sampai akhirnya kami melangkah ke lapangan yang hijau nilai bejejer dengan gemuruh suara teriakan penggemar bulutangkis yang menyerukan gema Indonesia dengan serentak, wah aku berpikir ini hal yang sangat menakjubkan yang pernah kurasakan, aku tak percaya anak ingusan sepertiku mampu menapak jauhnya jalan rintangan dan sampai di tempat semegah ini. Ingin rasanya kuberteriak lepas, sempat kuberpikir dapat juara duapun tak apa. Asalkan sudah dapat hadiah. Akan tetapi pikiranku sirna lenyap akibat teguran dari Taufik yang menyerukan kita harus menang. Bak dibakar api semangatku bertambah empat kali lipat dari sebelumnya.
Game pertama begitu cepat kami lalui kami berusaha bermain bersih dengan mengurangi kesalahan sendiri dan memainkan bola yang agak sulit agar dikembalikan tanggung dan kami mudah untuk mengeksekusi. Benar saja kedudukan 18-15 untuk kami. Saat-saat poin kritis 20-18 kami sempat tersmash oleh Xu Chen, pemain dengan pegangan raket tangan kiri ini. Kami mencoba mengambil napas dan berusaha bermain on fire. Kuarahkan bola tipis depan net, dan benar saja pukulan itu sangat menyulitkan pasangan ini dan sikembalikan oleh tanggung dan merupakan makanan empuk. Kami menutup set 1 dengan point tipis 21-19.
Permainan kedua tak seketat pemain pertama dengan strategi yang lumayan diubah dari game pertama kami mampu membungkam pasangan China ini dengan skor 21-9.
 ***
Berniat keberanian diri aku putuskan untuk pulang ke kampung dan kususul ayah dan ibuku untuk kubawa bersama ku ke kota.
“Bu, Pak, kula pulang,” tegurku.
Seketika ibu merangkul kuerat
“Nak, ibu khilaf Nak, kalau seandainya kamu suka badminton teruskan, itu memang keahlianmu,” jelas ibu.
“Maafin saya ya Bu, kalau selama ini masih kurang nurut sama ibu,” kataku.
“Iya Nak, ibu juga salah terlalu melarangmu.”

Semenjak itu kami sekeluarga pindah ke rumah baru yang berada ke toko. Dan aku dan kawanku, Taufik semakin sering ikut ajang perlombaan, kami selalu menang. Kami sangat bersyukur kepada Allah SWT.


Semoga cerpen diatas dapat menginspirasi para pembaca.

0 komentar:

Posting Komentar