Kisahku dengannya
Hari
yang cerah berganti begitu cepat silih berganti, hari-hari kulewati indahnya
hidup di dunia ini, meskipun dunia ini terasa sempit jika kita bayangkan. Aku
adalah Dirham, seorang laki-laki yang hidup di daerah pinggiran desa terletak
di jajaran gunung daerah yang bernama daerah yang bernama Hepta. Aku hidup di
daerah ini bersama kedua orangtuaku yang mengasuh dan membesarkanku semenjak
aku masih balita. Pekerjanku di sini adalah berkebun di daratan tinggi dan
bertani sesaat aku dating ke daerah yang rendah di bawah gunung dekat rumahku.
Kehidupanku disini aku rasa amat mudah banyak sekali buah-buahan dan sayuran
tersedia cuma-cuma disini. Semua itu disertai dengankondisi yang terpencil
sehingga belum banyak yang menjamah daerah ini bersama kedua orangtuaku yang
mengasuh dan membesarkanku semenjak aku masih sangat belia. Tatkala waktu cerah atau dalam keadaan musim kering,
setelah senja menapakkan kaki di peraduannya yang merah kejora, aku selalu
pergi mencari keramaian entah itu ke desa tetangga yang terdapat berkilo-kilo
meter dari tempat ini, ataupun di Kota Hepta. Dan tak lupa kuajak adikku yang kecil. Dia sangat
beruntung dibandingkan aku, dia setidaknya sudah menilik rasa bangku sekolahan
ataupun memakai seragam.
Keinginanku begitu besar aku sangat
ingin sekali menjadi seorang atlet bulutangkis yang membawa nama Indonesia
mengharumkannya di kancah Internasional. Akan tetapi sayang bagaimana aku
bisa menjadi atlet bulutangkis sedangkan
belum pernah memainkan permainnya memegang raketpun aku tak pernah. Acap kali
aku termangu dalam diam dan tiupan angin dikala malam hari tiba. Akupun
berpikir bahwa sia-sia buat apa memikitrkan itu.
“Nak, kenapa kamu masuk udaranya
sedang dingin,” ucap seseorang sambil menepuk pundakku
Akupun
segera membalikkan badan dan kulihat seorang perempuan yang merupakan ibuku
tercinta.
“Sebentar
Bu, cuaca hari ini cerah aku ingin melihat bulan purnama itu.”
“Ayolah
Nak, sebenarnya ada apasih akhir-akhir ini kulihat begitu murungnya mukamu,
setiap hari kau tekukkan senyummu,” balas ibu.
“Sebenarnya
gini Bu, aku pingin banget jadi atlet Bu, atlet bulutangkis tepatnya, akan
tetapi aku belum pernah memainkan permainan itu, bahkan memegang raketpun belum
aku pernah. Akan tetapi suatu saat nanti, aku pingin banget jadi atlet
bulutangkis yang bawa bangga nama Indonesia,” tuturku pada ibu.
“Kamu
mau jadi atlet?. Ibu tidak mengizinkan. Lihatlah atlet-atlet Indonesia sudah ngumbruk akeh, kau bisa lihatkan dulu
sewaktu muda mereka menghasilkan medali emas untuk Indonesia, setelah mereka
tua mereka dibiarkan saja tak mendapat dana sepeserpun dari pemerintah, apa
kamu tidak menyesal nantinya? Pokoknya ibu tidak mengizinkan,” jelas ibu dengan
nada tinggi.
Semenjak
kejadian itu aku merasa sangat berputus asa. Keluarga terdekatkupun tidak
mendukungku, bagaimana akan aku lakukan. Keadaan ini mulai membuatku semakin
tertekan, ingin rasanya kutinggalkan tempat ini untuk segera, akan tetapi
merekalah yang membesarkanku dari kecil, karena pusing terus-menerus memikirkan
hal itu, suatu hari dihari minggu aku putuskan untuk ke kota mencari hiburan.
Perjalananku amat menyulitkan pertama aku harus turun dari tempat yang
kutinggali di puncak gunung. Dan ketika aku telah sampai di desa sebelah, aku
naik angkot. Perjalanan dari rumah pun aku lakukan pada sore hari sekitar jam
15.00 dengan membawa peralatan seperti senter dll, yang aku butuhkan aku pun
berangkat dengan sendiri. Angkot yang kutumpangipun bukanlah angkot menuju
kota, angkot ini hanya sampai ke jalan raya yang biasa kami sebut Fetra.
Kemudian aku harus naik lagi bis, dan akhirnya sampailah ke kota tempat
tujuanku.
Tempat
yang kutuju begitu ramai dengan kumpulan pedagang yang berjejeran dari spot yang agak rame sampai yang paling
rame. Seketika aku melihat seorang pedagang yang sedang berjualan raket dan
berbagai perangkatnya.
“Mas,
mau beli raket?,” sapa pedagang tersebut.
“Enggak
mas mau bermain saja saya belum bisa,” jawabku murung.
“Pingin
belajar bulutangkis mas?,” tanya pria pedagang itu.
“Tentu?
Akan tetapi saya belum punya banyak uang untuk bayar kursusnya.”
“Janganlah
khawatir, itu masalah gampang,” tuturnya dengan yakin
“Terus
di mana tempatnya? Apakah di kota?.”
“Tentu,”
jawabnya.
Setelah
kita berbincang-bincang dia mengambil secarik kertas dengan tulis tangan
berwarna hitam. Kertas tersebut berisi alamat Jalan Ampineura tepatnya, dia
menjelaskan detail alamat tersebut. Diapun juga menjelaskan jadwal latihan tiga
kali seminggu. Seketika kukeluarkan uang Rp. 150.000 untuk membeli raket
bermerek Yonex untuk latihan esok
hari. Akan tetapi aku tak berani membawa pulang raket tersebut. Karena aku
sangat paham bahwa ibuku sangat tidak setuju kalau aku menjadi atlet.
***
Keesokan
harinya aku bangun tidur dengan semangat menanti-nanti jam 14.00. Enggan
kuceritakan pada kedua orangtuaku, akupun bingung mencari alasan untuk pergi
latian perdana bukutangkisku. Aku berpikir berdetik bahkan berjam-jam dan
sampai akhirnya aku menemukan alasan yang tepat yaitu pergi untuk merasakan
kehidupan yang baru. Untunglah mereka tidak bertanya lebar tentang keputusanku
ini. Aku sangat menyesaal harus pergi dengan alasan palsu yang sengaja kubuat
semi bermain bulutangkis. Maaf ayah ibu.
“He,
kau sudah lama kutunggu,” kata seseorang menepukku dari belakang
“Aku
harus mencari alasan untuk pergi kesini,” jawabku sekenanya
Setelah aku melihat ke dalam gor ini
aku melihat semua orang memakai sepatu unik berwarna ataupun cuma garis putih
yang tak bermotif. Langsung aku susul temanku ini yang terlibat bincang-bincang
dengan teman lain di samping gor.
“Bagaimana
kawan saya juga tidak punya sepatu,” tegurku pelan.
“Tenang,
semua terkendali,” jawabnya santai.
Semenjak
berjumpa pertama kali, kami belum menyempatkan untuk saling berkenalan. Namanya
Taufik berumur 17 tahun. Setelah
semuanya sudah siap kamipun bermain bersama di GOR besar ini.
***
Berhari-hari
aku bermain bulutangkis bersama Taufik, tak sedikitpun Ibu curiga denganku. Aku
sempat merasa bersalah ataupun senang akan keadaan ini. Tapi pada saat itu
keadaan sungguh sangat berbeda. Tiba-tiba Ibu bersama adikku muncul di
belakangku di dalam GOR itu, tempat kami bermain bulutangkis bersama. Ibu
tampak seperti sedih, atau justru sangat marahnya kepadaku. Akupun mengajak ibu
keluar untuk menjelaskan segalanya.
“Ibu,
maafkan aku, inilah harapanku ibu. Dari kecil aku sangat ingin menjadi seorang
atlit bulutangkis,” jelasku.
Sekian
lama ibu hanya diam memperhatikanku tanpa ada sepatah kata keluar darinya. Dan
pada saat itu aku sangat terpukul. Jelas ibu sangat kecewa dari raut mukanya.
“Nak,
jadi ini jalan pilihanmu,” tanya ibu.
“Iya
bu.”
“Jangan
pulang lagi ibu sudah tidak ingin kamu pulan lagi,” tegas ibu.
Baru
kali ini aku melihat ibu sangat marah padaku aku sungguh merasa bersalah.
Adikku juga sudah membujuk ibu. Aku juga sempat merenge, tapi ibu juga tidak
menggubrisku. Linangan air mata juga tidak mempengaruhinya. Dan akhirnya ibu
dan adikku pergi meninggalkanku dalam kesenyapan, kegelisahan, dan penyesalan
pada kala itu. Ingin rasanya ku buang raketku sejauh-jauhnya. Tiba-tiba Taufik
datang, menyemangatiku, mengajakku untuk bangkit maju meggapai harapan.
***
Setiap
hari aku terlunta-lunta bermalam di Gor ini. Berminggu-minggu hinga
berbulan-bulan kurasakan akan kerinduan mendalam terhadap semua keluargaku.
Disamping itu waktu yang sangat lama tersebut kumanfaatkan untuk berlatih dan
berlatih. Sampai akhirnya Taufik temanku, menuturkan bahwa besok minggu
terdapat seleksi event bulutangkis
dalam negeri bernama Djarum Indonesia Open. Sebuah perlombaan bulutangkis amat
terkenal dalam pelosok. Aku diajak Taufik untuk ikut dalam perlombaan tersebut.
Tanpa berpikir panjang kuiyakan ajakan tersebut.
Pada
seleksi pertama aku dan Taufik tidak mengalami kesulitan berarti, kami bermain
dalam regu men doubles, melawan
pasangan gado-gado dari Thailand dan Singapura dengan straight game. Hari demi hari kami lolos, lolos dan lolos, kami
mencatat rekor menakjubkan, kami di semifinal mengalahkan duo Z dari China
Zhang Nan, Zhan Weng peringkat dua dunia dengan skor telak 21-8, 21-10. Dan
kami akan bertemu dengan peringkat 1 dunia besok di Istora Senayan tempat
diadakannya perlombaan ini Xu Chen dan Chen Long.
***
Hari
ini langkah kakiku begitu berat untukku tapakkan ke bumi pertiwi, aku sungguh
merasa heran, apa yang telah terjadi padaku, beragam kejutan manis bak mengalir
seperti sungai ke hilir. Akan tetapi keherananku tersendat dengan lawan berat
menanti hari ini, kurasakan denyut jantung mengalir keseluruh tubuh begitu
cepat, kupandangi langit yang biru laut membentang luas di atas kepalaku. Hari
ini adalah final Djarum Indonesia Open dimana aku dan Taufik melawan saingan
berat dari China, Negara besar dengan segudang medali olimpiade emas. Aku dan
kawanku, Taufik.
Berjam-jam
kulalui, aku hanya menyempatkan untuk stretching,
di lapangan luas bawah balkon belakang gor tempat diadakan lomba. Setelah
beberapa menit berlalu pertandinganpun dimulai. Berdoa adalah hal yang paling
mumpuni untuk mengatasi kegugupan diri.
Dan
sampai akhirnya kami melangkah ke lapangan yang hijau nilai bejejer dengan
gemuruh suara teriakan penggemar bulutangkis yang menyerukan gema Indonesia
dengan serentak, wah aku berpikir ini hal yang sangat menakjubkan yang pernah
kurasakan, aku tak percaya anak ingusan sepertiku mampu menapak jauhnya jalan
rintangan dan sampai di tempat semegah ini. Ingin rasanya kuberteriak lepas,
sempat kuberpikir dapat juara duapun tak apa. Asalkan sudah dapat hadiah. Akan
tetapi pikiranku sirna lenyap akibat teguran dari Taufik yang menyerukan kita
harus menang. Bak dibakar api semangatku bertambah empat kali lipat dari
sebelumnya.
Game
pertama begitu cepat kami lalui kami berusaha bermain bersih dengan mengurangi
kesalahan sendiri dan memainkan bola yang agak sulit agar dikembalikan tanggung
dan kami mudah untuk mengeksekusi. Benar saja kedudukan 18-15 untuk kami.
Saat-saat poin kritis 20-18 kami sempat tersmash oleh Xu Chen, pemain dengan
pegangan raket tangan kiri ini. Kami mencoba mengambil napas dan berusaha
bermain on fire. Kuarahkan bola tipis
depan net, dan benar saja pukulan itu sangat menyulitkan pasangan ini dan
sikembalikan oleh tanggung dan merupakan makanan empuk. Kami menutup set 1
dengan point tipis 21-19.
Permainan
kedua tak seketat pemain pertama dengan strategi yang lumayan diubah dari game
pertama kami mampu membungkam pasangan China ini dengan skor 21-9.
***
Berniat
keberanian diri aku putuskan untuk pulang ke kampung dan kususul ayah dan ibuku
untuk kubawa bersama ku ke kota.
“Bu,
Pak, kula pulang,” tegurku.
Seketika
ibu merangkul kuerat
“Nak,
ibu khilaf Nak, kalau seandainya kamu suka badminton teruskan, itu memang
keahlianmu,” jelas ibu.
“Maafin
saya ya Bu, kalau selama ini masih kurang nurut sama ibu,” kataku.
“Iya
Nak, ibu juga salah terlalu melarangmu.”
Semenjak itu kami sekeluarga pindah ke rumah baru yang berada ke toko. Dan aku dan kawanku, Taufik semakin sering ikut ajang perlombaan, kami selalu menang. Kami sangat bersyukur kepada Allah SWT.
Semoga cerpen diatas dapat menginspirasi para pembaca.
0 komentar:
Posting Komentar