Masyarakat Indonesia memiliki olahraga populer, namanya bulu tangkis.
Saking mema-syarakatnya olah raga ini, tidak ada kampung yang tidak
mempunyai la-pangan bulu tangkis. Asyik bermain bulu tangkis, kadang
orang lupa siapa sesungguhnya yang mem–bikin shuttlecok? Di Desa
Sumengko, Kecamatan Sukomoro, Kabupaten nganjuk, shuttlecock dibikin.
Desa Sumengko boleh dikata sentra industri kecil shuttlecock di
Kabupaten Nganjuk. Banyak perajin yang memproduksi shuttlecock. Industri
kecil ini terus berkembang. Bukan saja menembus pasaran nasional,
tetapi juga luar negeri. Shuttlecock mulai dikenal di Desa Sumengko
tahun 80-an. Dua tahun kemudian, persisnya tahun 1984, cock produksi
Sumengko mulai keluar daerah. Tanpa label atau tanpa identitas produksi.
Istilahnya, produk disetor ke juragan dengan kosongan. Lantas juragan
tersebut yang mel» beli produk dan dijual ke pasaran.
Salah satu industri cock itu dengan merk Mitra Cock. Saat itu
produksinya berupa cock kosongan dikirim ke salah satu juragan di
Malang. Belakangan diketahui, label yang dipakai adalah merk nasional.
Setelah cukup ahli membuat cock, perajin nekat membuat brand sendiri,
yaitu Mitra Cock. Nama brand itu sekaligus menjadi nama perusahaan
hingga kini.

“Sebelum
membuat shuttlecock saya bekerja mencari bulu menthok. Bulu-bulu
berukuran tertentu tersebut kemudian kami setor ke juragan. Ternyata
bulu-bulu menthok itu diproduksi menjadi cock untuk bulu tangkis/’ kata
Sujadi, pemilik Mitra Cock.
Sejak itu Sujadi tidak lagi menyetor bulu-bulu itu ke industri kecil
yang dipasok. Dengan modal Rp 15 ribu Sujadi kemudian memproduksi
sendiri hingga akhirnya menjadi perusahaan Mitra Coks seperti sekarang.
Karena tidak susah memproduksi cock, maka orang sekampung akhirnya dia
ajak menjadi mitra.
Dalam membuat cock, pertama-tama yang dilakukan adalah mengumpulkan
bulu. Bulu menthok adalah yang paling bagus. Bulu dicabut langsung dari
menthok berdasarkan ukuran tertentu. Pencabutan harus hati-hati karena
bulu tidak boleh patah. Bulu didapatkan dari Jombang, Mojokerto, Madiun
dan Solo. Ada juga yang diimpor dari Taiwan.
Bulu kemudian dicuci bersih lalu dikeringkan. Dijemur alami di panas matahari paling bagus agar tidak
4
merusak warna alami bulu. Setelah mengering dilakukan proses sortir.
Bulu dipilih berdasarkan kategori 1,2,3 dan super. Kemudian dipotong-
potong berdasarkan kualitas tersebut. “Bulu bagian atas tak terpakai,
yang terpakai adalah bagian bawah yang terdapat tangkainya” kata Sujadi.
Proses selanjutnya memasukkan tangkai bulu ke lubang-lubang kayu
khusus berbentuk setengah lingkaran, setelah itu dijahit memakai benang
besar agar tidak terlepas. Setelah distel sesuai kecepatan yang
diinginkan baru kemudian dilem, diberi label produksi, lalu dikemas
dalam slop-slop khusus.
Dalam satu slop berisi 10 biji cock. Untuk pengiriman, dalam satu dos
berisi 20-50 slop bergantung permintaan. Dalam sebulan Mitra Cock
memproduksi tak kurang dari 3000 slop. Jika dirupiahkan setara dengan Rp
96-100 juta.
Diakuinya pasar shuttlecock selalu ada. Sebab makin bergairah bulu
tangkis, makin besar serapan pasar yang didapatkan. Dengan cara
memilah-milah bahan baku berkulitas sesuai kategori sedang dan super,
pasar bisa dijajaki sampai tak terbatas.
Kebutuhan cock dalam dan luar negeri mampu melambung tinggi jika even
tahunan seperti Piala Thomas dan Uber sedang diseleng garakan.
Terlebih jika jago-jago Indonesia menang bertanding, omzet otomatis ikut
terdongkrak.
Pemasaran Mitra Cock meluas sampai seluruh Jawa. Malah boleh dibilang
mengusai pasar. Pasar luar Jawa juga besar. Untuk pasaran luar negeri,
Belanda, Malaysia, Singapura, Cina dan Jepang merupakan pasar tetap.
Jika kualitas produk makin baik, sudah tentu
pasar luar negeri makin bisa dikembangkan.
Selain Sujadi ada pengusaha shuttlecock yang cukup sukses. Dia adalah
Edi Hari Prasetyo, yang merintis usaha tersebut sekitar 1987-an dengan
meneruskan usaha orang tuanya. Sekarang dengan 50 orang karyawan,
usahanya mampu menghasilkan sekitar 200 lusin shuttle-cock per minggu.
“Kami mencoba memanfaatkan peluang. Tetapi itu semua bergantung pada
modal ” ujar Edi.
Menurut Edi, modal yang dipakai untuk membuat 1.000 lusin
shuttle-cock mencapai sekitar Rp 40 juta. Jika terjual, 1.000 lusin itu
bisa laku sekitar Rp 45 juta. Jika dipotong untuk biaya produksi,
seperti upah buruh, maka keuntungan yang di-peroleh Edi sekitar Rp
3.000.000. Jumlah yang terbilang lumayan.
Sayang, kendala modal masih terjadi. Sebab, tak jarang pihaknya tak
mampu melayani pemesanan karena kurang modal. Shuttlecock yang
dihasilkan dipasarkan ke beberapa daerah, seperti luar Jawa, Malang,
Surabaya, Bandung, Semarang dan Jakarta. Untuk memasarkan produksi
tersebut pihaknya bekerja sama dengan para agen dan klub-klub bulu
tangkis di berbagai daerah.

Menurut
Edi, biasanya para a.£jen itu yang memesan lebih dahulu. “Dengan
demikian kami tahu berapa kebutuhannya sehingga seluruh produk ini laku
di pasaran,” paparnya. Edi mengungkapkan, sejak beberapa tahun terakhir
biaya pembuatan shuttlecock meningkat. Itu karena bahan baku berupa bulu
itik harus diimpor dari Taiwan. Sayang sekali. Langkah impor bulu
mentok itu terpaksi dilakukan karena Indonesia, terutama di Nganjuk,
saat ini jarang orang beternak itik. Tentu saja ini menyulitkan
pencarian bahan baku.
“Kami akui, kualitas bulu mentok lokal lebih bagus disbanding bulu
mentok impor.Tetapi, saat ini untuk mencari bulu mentok local sangat
sulit. Kalaupun ada, sangat sedikit dan tidak mampu memenuhi kebutuhan,”
papar sarjana ekonomi tersebut. Edi mengungkapkan bahwa shuttlecock
produksi Nganjuk su-dah diakui di tingkat nasional.
Sayangnya, para perajin belum mempunyai hak paten sehingga kebanyakan
shuttlecock belum diberi merek. Tentunya hal ini memungkinkan
pihak-pihak lain membajak dan memberi merek ketika melemparkannya ke
pasaran. Dari ratusan unit usaha itu baru tiga yang sudah mempunyai hak
merek, yakni merek Mina, Aldo RI, dan Memori. Padahal dengan banyaknya
unit usaha di Nganjuk, diperkirakan ada sekitar 10 ribu shuttlecock yang
dipasok untuk memenuhi kebutuh an nasional, (han)
sumber : pusaka jawatimuran